Albert Pratama menulis:
> Sikap Penduduk Jepang
> RHENALD KASALI
>
> Bagaimana takjubnya dunia terhadap perilaku penduduk Jepang pasca
> musibah tsunami sudah banyak Anda baca. Dunia kagum dengan
> kedisiplinan dan kerukunan orang Jepang melewati masa-masa sulit.
>
> Tak ada rebutan makanan, walaupun perut kosong atau anak menangis. Tak
> ada saling serobot lalu lintas, meski sudah lebih dari lima jam jalan
> tidak bergerak. Tak ada amarah atau komplain yang diucapkan, kendati
> listrik terus-menerus padam dan kereta api tak kunjung datang. Semua
> orang tahu bagaimana cara menahan diri. Apa yang membuat orangorang
> Jepang mampu menahan diri seperti itu?
>
> Sumimasen
>
> Setiap kali saya bersenggolan di Tokyo atau di Osaka yang padat, kata
> sumimasen menjadi begitu familier di telinga saya. Begitu cepat orang
> yang menyenggol mengucapkankatatersebut— yang berarti ’permisi’ atau
> ’maafkan saya’. Anak-anak di Jepang begitu cepat mengucapkan kata itu
> satu dengan lainnya, disertai anggukan kepala sebagai tanda respek.
> Selama beberapa kali melakukan kunjungan dan studi di Jepang, seingat
> saya hampir tidak pernah saya melihat orang Jepang berkelahi atau
> rebut mulut.
>
> Bahkan saya tak pernah melihat orang-orang Jepang bertatap mata dengan
> tajam seperti yang sering kita saksikan saat remaja-remaja kita
> bertengkar.Tawuran? Ini apalagi. Praktis tidak terdengar. Di Anyer,
> seorang teman yang membuka usaha rumah makan Jepang yang dilengkapi
> pijat sehat bercerita bahwa pelanggan-pelanggannya semula adalah para
> eksekutif Jepang yang sedang bertugas di sana.
>
> Entah karena apa belakangan di sekitar Anyer datang pekerja asal Korea
> dan mereka secara beramai-ramai mendominasi tempat pijat. Tentu saja
> hal ini membuat pelanggan asal Jepang terdesak. Anda tahu apa yang
> dilakukan keluarga asal Jepang yang terdesak itu? Mereka diam seribu
> bahasa dan memilih mundur perlahan-lahan. Tak ingin terlibat dalam
> keributan telah menjadi karakter penduduk Jepang.
>
> Beberapa pemuda magang asal Indonesia yang saya temui di Osaka pada
> September tahun lalu bercerita bagaimana nilai-nilai itu dibangun di
> Jepang. Berbeda dengan di Tanah Air, katanya, di taman kanakkanak
> mereka tidak diajari matematika. Lantas apa yang diajarkan? ”Mencuci
> piring,mengepel, dan origami,”ujarnya. ”Satu lagi, kalau bersentuhan
> mereka harus cepat cepat bilang sumimasen,” katanya. Berbeda dengan di
> Indonesia.
>
> Taman kanak-kanak yang tak lain adalah tempat bermain telah berubah
> menjadi sekolah yang dilengkapi target yang luar biasa ambisius. Di
> pintu sekolah, ibu-ibu muda menggunjingkan pelajaran berhitung dengan
> membanggakan anak-anaknya yang katanya sudah pintar menghafal angka 1
> sampai 100.
>
> Sementara itu, stasiun televisi sangat getol menampilkan anak-anak
> pandai menghafal nama-nama negara atau bendera berbagai bangsa. Tak
> ada yang mempersoalkan anak-anak itu berbicara sambil mengunyah
> makanan atau terduduk- tidur seenaknya. Kita telah lebih mengedepankan
> aspek kognitif ketimbang aspek psikomotorik yang menjadi pembentuk
> karakter yang penting.
>
> SOP
>
> Orang-orang Jepang bagi saya adalah sosok yang sangat menarik. Agak
> pemalu, sangat santun, dan bicaranya halus. Terkesan tidak ingin
> menonjolkan diri dan secara individu tidak begitu dominan. Namun, bila
> berada dalam sebuah tim mereka pun menunjukkan keperkasaan. Manajemen
> Jepang pada dasarnya adalah manajemen SOP (standard operating
> procedure). Apa pun juga mereka ingin standardisasikan. Prinsipnya
> semua harus dibuat tertulis, persis seperti filosofi ISO, ”Write what
> you do,and do what you write”(Tulis apa yang Anda kerjakan,dan
> kerjakan seperti yang tertulis).
>
> Dengan modal SOP seperti itu Jepang membangun industrinya dengan
> detail, terencana, repetisi, dan terkoreksi melalui mekanisme kontrol.
> Setiap kali seseorang menemukan sebuah produk dari sebuah sampel yang
> diambil ada yang cacat, proses produksi pun dihentikan. Mereka
> memencet tombol, mesin berhenti, dan semua orang dalam satu line di
> pabrik segera masuk ruang rapat. Mereka menelusuri sebab-sebab dan
> memperbaikinya on the spot. Seorang bintang olahraga baseball Jepang
> mengatakan, ”Yang paling saya bosan bermain di sini adalah seringnya
> coach meminta time out.”
>
> Mereka rewel dan detail, tetapi hasilnya luar biasa. Cerita lain soal
> SOP dialami istri saya saat dia membeli kamera yang menjadi hobi anak
> kami. Dua jam dia berbicara dengan petugas hanya untuk meminta agar
> kamera yang dibelinya dapat diganti pada bagian-bagian tertentu,
> ternyata tidak selesai-selesai.Pegawai KBRI yang menjemput kemudian
> memberi tahu kami: ”Di sini kalau Anda memesan makanan terimalah
> sesuai menu. Kalau di Indonesia Anda bisa meminta pesanan makanan
> ditambahi cabai, kurangi lemak, tambahi jamur atau buat lebih asin,
> demikian mudah.
>
> Di Jepang semua orang bekerja sesuai SOP dan menyesuaikan diri dengan
> masing-masing selera adalah masalah besar. ”Mungkin karena itu pulalah
> Bapak dan Ibu mengalami kesulitan untuk mengirim bantuan makanan,
> obat-obatan, pakaian, bahkan relawan kemanusiaan untuk membantu
> evakuasi para korban Tsunami di Jepang. Semua sudah ada SOP-nya dan
> standar mereka begitu tinggi.
>
> Kontrol begitu ketat demi sebuah kesejahteraan. Namun apa pun yang
> terjadi, tetaplah menunduk, mohon ampun, dan berdoalah agar
> saudara-sau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar