Setahuku memang tradisi keris di belakang itu sudah ada sejak lama sekali di Jawa (dan wilayah2 pengaruhnya. Mis. Bali) Bahkan itu katanya sudah dimulai sebelum era Majapahit. Katanya hanya kaum agamawan yang pantas/boleh membawa keris di depan. Katanya karena mereka sudah bisa menahan diri untuk tidak cepat menikam. Agamawan pun akan dianggap 'suka damai', sehingga tidak menimbulkan rasa curiga saat ia menaruh keris di depan.
Secara umum keris bagi orang Jawa bukanlah dirancang untuk bertempur, karena memang tidak efisien. Keris dipenuhi oleh elemen2 yang lebih bersifat simbolik, klangenan, koleksi, keindahan, gaib, dsb. Ia biasa dipakai kelahi hanya dlm keadaan kepepet, dlm duel satu lawan satu. Umumnya masyarakat Jawa zaman dulu berperang dengan membawa pedang, tombak, celurit besar, arit besar, panah, dan penggada. Peralatan-peralatan perang itu sengaja dibikin sangat kuat. Seperti pedang Jawa ada dua jenis, yaitu pedang sabet dan pedang sunduk. Dengan baja yang sangat kuat. Tombak pun dibikin panjang dan tajam, walau elemen pamor atau gaibnya pun tetap dihadirkan. Sabet dari celurit raksasa atau arit raksasa pun sering dipakai, terutama oleh kavaleri dan anti kavaleri.
Memang ada pula keris yang dipakai berperang, yaitu yang dirancang khsusus dengan baja yang amat keras sehingga bisa menembus tameng atau baju besi. Tapi itu cuma minor, hanya beberapa buah saja diproduksi. Aku pernah melihatnya di pasar Beringharjo, dijual cukup murah. Namun krn di bilahannya ada tanda2 bekas darah, maka aku malas membelinya. Karena keris sangat unik: meskipun ia senjata tajam yang sangat berbahaya, namun ada tradisi bahwa keris pusaka tidak boleh dipakai untuk berperang. Ia tak boleh dipakai untuk membunuh. Jika keris sudah membaui darah, maka sifatnya dipercaya akan berubah, menjadi haus darah, dan membuat suasana rumah menjadi gerah mudah bertengkar. Oleh sebab itu keris pusaka yang pernah dipakai bertempur dan membunuh biasanya sengaja ditaruh di ruangan persenjataan khusus di luar rumah tinggal. Atau bahkan ada yang melarungnya di alaut atau sungai, atau membuangnya di jurang. Kasus keris empu gandring cukup serupa, dimana ia dibuang ke jurang.
Di sisi lain, dalam budaya non Jawa, keris wajar saja dipakai bertempur. Keris yang sudah dipakai membunuh tetap biasa dipakai dan dibawa sehari-hari. Bahkan dalam tradisi melayu ada keris yang bernama keris panjang, yang dibawa khusus oleh seorang algojo untuk menghukummati seorang terpidana. Caranya adalah ditusukkan dari bahu secara veetikal masuk ke jantung.
Kalau dalam keadaan perang, konon katanya para prajurit Jawa bawa 3 keris. Ribet sekali. 1 keris warisan dr ayahnya, 1 dari mertuanya, dan satu yg khusus ia sengaja buat utk dirinya. Dan setahuku itu dibawa di samping badan menggunakan semacam tali atau sarung kulit serupa holster menyilang dari bahu ke pinggang. Kakekku sendiri saat bertempur di Surabaya dan front2 Jatim/Jateng dulu juga bawa keris dengan sarung khusus itu. Cuma ia bertempurnya toh tetap pakai bambu runcing dan selanjutnya senapan. Setahuku Jendral Sudirman kalau bawa keris adalah di depan, selain krn keadaan perang, tetapi juga karena ia adalah guru agama di perguruan Muhammadiyah. Jadi secara kultural dipandang pantas membawa di depan.
Ada banyak teori lain kenapa orang Jawa bawanya di belakang. Ada yang berpendapat krn sebagai tanda bahwa ia datang dlm kondisi damai, bukan menantang, atau siap siaga untuk bertempur/kelahi. Ada juga yang berpandangan bahwa posisi di belakang memudahkan ia untuk berjalan jongkok menyembah raja. Hal ini memang beda skl dengan budaya luar Jawa yang jarang memiliki budaya sembah jongkok. Tradisi maritim masyarakat non Jawa pun nampaknya turut berpengaruh, krn dua etnik dominan yg membawa keris di depan adalah etnik Melayu dan Bugis Makassar. Keduanya hidup bergantung pd Maritim yg keras sehingga hrs siap tempur setiap saat. Dan posisi keris di depan juga menjamin keamanan keris dlm perjalanan. Krn membawa keris di belakang tentu lebih mudah hilang tercecer krn sarung/kain melorot, atau jatuh saat berlari/melompat dr buritan. Hal ini sebenarnya juga disadari oleh masyarakat Jawa, krn pr petualang pun umumnya membawa keris di depan atau pakai holster di samping. Krn kekalahan berturut2 etnik Jawa terhadap dominasi Belandalah yg mengekalkan tradisi membawa keris di belakang sebagai satu-satunya cara yg diingat masyarakat Jawa. Padahal tidak, ada cara di depan dan samping pula. Para petarung dan pahlawan Bali pun juga membawa keris di depan saat mereka hendak berperang, jd tidak melulu di belakang.
Jadi posisi di belakang adalah semacam manner atau sopansantun bersosial di Jawa dan Bali dalam situasi damai. Tidak berkait dengan karakter masyarakat Jawa yg dimitoskan suka menikam dr belakang.
keris... orang jawa piyayi (strata tinngi)meng idealkan sifat yang "andap asor dening banyu" - merendah bagai air... dimata para priyayi jawa, dugdeng, digdoyo (kekuatan, kesaktian) itu justru berdrajat rendah... mereka lebih mengutamakan kebijaksanaan serta kearifan... maka keris ditaruh belakang... keris memang tidak untuk berperang- tetapi hati hati keris itu diwarangi (warangan=arsenikum) keris yang diwarangi itu beracun
BalasHapusTerimakasih atas tambahan penjelasannya.
Hapus