Kamis, 22 Maret 2012
Kutipan: Fatwa
Dikutip oleh Adi Must
Fatwa dalam istilah agama (sempitnya: fikih) mirip dengan pengertian
bahasanya, yakni jawaban mufti terhadap masalah keberagamaan. Dulu -dan
sampai sekarang di beberapa negara Timur Tengah- fatwa memang diminta dan
diberikan oleh mufti secara perorangan. Dalam kitab-kitab fikih, mufti atau
pemberi fatwa dibedakan dengan hakim. Mufti hanya memberikan informasi
kepada dan sesuai dengan pertanyaan si peminta fatwa. Sementara itu, hakim
memutuskan hukuman setelah mendengarkan berbagai pihak, seperti penuntut,
terdakwa, dan saksi-saksi. Berbeda dengan putusan hakim, fatwa tidak
memiliki kekuatan memaksa. Ia tidak mengikat, kecuali bagi si peminta
fatwa.Itu pun berlaku dengan beberapa catatan. Antara lain, si peminta fatwa
hanya mendapatkan fatwa dari satu pihak atau pemberi fatwa dan fatwa yang
diberikan sesuai dengan kemantapan hatinya. Apabila ada dua pihak yang
memberikan fatwa berbeda, dia mengikuti fatwa yang sesuai dengan kata
hatinya. Itu berdasar hadis Nabi Muhammad SAW, "Istafti qalbak/nafsak wain
aftaaka an-naas..." Arti hadis tersebut, mintalah fatwa hati nuranimu meski
orang-orang sudah memberimu fatwa.
Sementara itu, mufti yang boleh ditanya dan memberikan fatwa adalah orang
yang memenuhi kriteria tertentu. Bukan sembarang orang. Misalnya, pensiunan
pegawai tinggi Depag (kini Kementerian Agama) atau ketua umum organisasi
tidak bisa dijadikan ukuran. Para ulama punya pendapat berbeda mengenai
rincian kriteria mufti; ada yang ketat, ada juga yang agak longgar. Ada yang
mensyaratkan mufti harus mujtahid. Ada yang sekadar menyatakan -seperti Imam
Malik- orang alim tidak seyogianya memberikan fatwa sampai tahu bahwa orang
melihatnya pantas memberikan fatwa dan dirinya juga merasa pantas. Secara
garis besar, semua menyepakati bahwa yang diperkenankan dimintai dan
memberikan fatwa hanyalah mereka yang memang ahli.
Pemberian fatwa, menurut para ulama, juga punya etika. Misalnya, mufti tidak
boleh tergesa-gesa dalam memberikan fatwa. Ibn Qayyim, misalnya, dalam salah
satu kitabnya menyatakan, "Dulu salaf, para sahabat nabi, dan tabiin tidak
suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru mengharap fatwa
diberikan oleh selain dirinya. Apabila sudah jelas bahwa fatwa itu harus
diberikan olehnya, dia akan mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk
mengetahui hukum masalah yang dimintakan fatwa tersebut dari Alquran, sunah
Rasulullah, dan pendapat Khalifah Rasyidin."
Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal, mufti tidak boleh menjawab apa saja yang
ditanyakan kepadanya. Selain itu, orang tidak boleh mengajukan dirinya untuk
memberikan fatwa, kecuali telah memenuhi lima hal. Pertama, dia punya niat
tulus lillahi taala, tidak mengharapkan kedudukan dan sebagainya. Kedua, dia
berdiri di atas ilmu, sikap lapang dada, keanggunan, dan ketenangan. Sebab,
bila tidak demikian, dia tidak bisa menjelaskan hukum-hukum agama dengan
baik. Ketiga, dia harus kuat pada posisi dan pengetahuannya. Keempat, mufti
harus punya kecukupan. Bila tidak, dia membuat masyarakat tidak senang.
Sebab, dia membutuhkan masyarakat dan mengambil (materi) dari tangan mereka.
Masyarakat bakal merasa dirugikan. Kelima, mufti harus mengenal masyarakat.
Artinya, dia harus tahu tentang kejiwaan si peminta fatwa serta mengerti
benar akan pengaruh dan tersebarnya fatwa tersebut di masyarakat.
Sebab, intinya, fatwa adalah kemaslahatan bagi masyarakat. Maka, menurut
Imam Syatibi, mufti yang mencapai derajat puncak adalah yang membawa
masyarakat ke kondisi tengah-tengah, seperti yang dikenal masyarakat. Mufti
itu tidak menempuh aliran yang keras, tidak pula terlalu longgar. []
KH. A. Mustofa Bisri, budayawan, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin, Rembang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar