sering hanya diketahui kulitnya saja sementara hakikatnya hanya
dilihat sebagai definisi, sehingga saat pelaksanaannya sering terlihat
hanya di permukaan saja, terseok-seok dan kurang pas.
Ide emansipasi misalnya, kini diterima di hampir semua kalangan.
Ironisnya, beberapa kegiatan yang dianggap sebagai bagian dari the big
picture itu, tak lebih hanya berupa pendangkalan makna sebenarnya.
Miss Indonesia 2012 pun digelar. Glamour and glitter, wajah wajah nan
elok dengan kulit dan bentuk tubuh sempurna akan segera menghiasi
media. Namun tak urung, banalisasi dari peran perempuan secara paralel
terjadi bersamaan.
Apa sebenarnya yang tidak pas dari kontes semacam itu, padahal bukan
hanya laki-laki yang suka, namun banyak perempuan menyukainya juga.
Toh kontes semacam itu adalah juga suatu "pembebasan" bagi perempuan
untuk terjun mendukung ide emansipasi?
Persoalan mendasar yang terjadi dari kegiatan miss-missan semacam itu
adalah merupakan suatu kegiatan yang "right for the wrong reason",
dimana modus operandi nya bertumpu pada trivializing the idea.
Penjelasannya adalah, kontes tersebut tidak lebih merupakan
pelaksanaan yang keliru dari ide-ide besar tentang emansipasi, karena
yang terjadi adalah menempatkan perempuan sebagai object.
Bagaimana "menempatkan perempuan sebagai object" bisa tidak pas? Kita
bisa melihat dari contoh kecil lewat segala persyaratan fisik yang
harus dipenuhi dalam mencari sosok perempuan yang sempurna. Untuk apa
sebenarnya hakikat dari persyaratan fisik itu ? Meskipun pencarian ini
dilakukan dalam forum yang terlihat "bersih" – apa bedanya dengan
persyaratan fisik itu dengan yang ditawarkan oleh perempuan yang
dipajang di Red District Amsterdam, di Sydney's King's Cross, atau di
lokalisasi Pasar Kembang Yogyakarta?
Masyarakat sering tidak sadar hal itu karena jitunya model presentasi
dan kemasan yang dilakukan. Bagi laki-laki, kegiatan tersebut juga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar